
Uwais al-Qarni adalah sosok yang namanya sering disebut sebagai teladan ketulusan, kerendahan hati, dan bakti kepada orang tua. Meskipun ia bukan sahabat Nabi karena tidak pernah bertemu langsung dengan Rasulullah kedudukannya justru sangat tinggi di sisi Allah. Nabi sendiri pernah menyebut namanya dan mengabarkan kepada para sahabat tentang kemuliaannya. Kisah hidup Uwais bukan kisah yang penuh keajaiban fantastis, melainkan kisah sederhana yang memuat pelajaran besar tentang hati yang bersih, keberanian dalam memilih kebenaran, dan keteguhan dalam ibadah, termasuk dalam perjalanannya menuju haji.
Asal-Usul dan Kepribadian Uwais
Uwais berasal dari wilayah Yaman, tepatnya dari kabilah Qaran. Ia digambarkan sebagai pemuda sederhana yang hidup dalam kesulitan ekonomi. Dari segi penampilan, Uwais tidak menonjol. Sebagian ulama menggambarkan bahwa ia memiliki kondisi fisik yang pernah terkena penyakit kulit, namun Allah kemudian menyembuhkannya kecuali sedikit bekas di tubuhnya.
Namun yang membuatnya dikenal bukanlah fisik, kekayaan, atau kedudukan. Yang membuat namanya harum di langit adalah hatinya yang sangat bersih dan baktinya yang begitu besar kepada ibunya. Ia merawat ibunya yang sudah tua dan sakit, dan hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi kebutuhan sang ibu. Ketaatan inilah yang kelak disebut sebagai sebab utama Allah memuliakannya.
Cita-Cita Besar Uwais Ingin Bertemu Nabi
Uwais hidup sezaman dengan Nabi Muhammad, sehingga ia termasuk generasi tabi’in. Dalam beberapa riwayat, dijelaskan bahwa ia sangat ingin bertemu Rasulullah untuk beriman langsung dan ber-bai’at kepada beliau. Namun keadaan ibunya membuatnya tidak bisa meninggalkan rumah untuk perjalanan yang jauh dan lama.
Yaman ke Madinah bukan perjalanan singkat. Dibutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Jika ia pergi, ibunya yang sangat bergantung kepadanya akan terlantar. Maka Uwais pun memilih tetap tinggal untuk merawat ibunya. Inilah pilihan yang menggambarkan keberanian moralnya ia rela kehilangan kesempatan paling berharga dalam hidup demi memenuhi kewajiban kepada ibunya.
Pilihan ini sama sekali tidak mengurangi kedudukannya. Justru ia menjadi teladan besar bahwa bakti kepada orang tua bisa mengangkat seseorang ke derajat yang luar biasa.
Kemuliaan Uwais yang Disebut oleh Rasulullah
Di akhir hayatnya, Nabi pernah memberi kabar kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib tentang seorang laki-laki dari Yaman bernama Uwais. Nabi menyebut bahwa Uwais sangat berbakti kepada ibunya, dan bahwa ia memiliki kedudukan mulia di sisi Allah. Nabi bahkan memerintahkan agar para sahabat memintanya berdoa dan memohonkan ampun jika bertemu dengannya.
Perintah ini bukan karena Uwais lebih mulia daripada para sahabat, tetapi sebagai tanda tingginya nilai doa seorang hamba yang bersih hati dan ikhlas. Tidak banyak manusia yang disebut Nabi secara khusus seperti itu. Dan ini menunjukkan betapa Allah meninggikan derajat orang yang ikhlas meski ia tidak dikenal di dunia.
Kesederhanaan dan Kezuhudan dalam Hidup Uwais
Setelah wafatnya Nabi, para sahabat penasaran mencari sosok yang disebut oleh Rasulullah itu. Umar, saat menjadi khalifah, mencari Uwais di antara para muslimin yang datang dari Yaman. Ketika akhirnya bertemu, Uwais justru tetap tampil sangat rendah hati. Ia tidak merasa dirinya pantas dipuji atau diagungkan. Bahkan setelah Umar meminta doa darinya, Uwais memilih menghilang agar tidak menjadi terkenal.
Begitulah sifat orang yang benar-benar ikhlas: mereka tidak senang namanya disebut, tidak ingin dihormati, dan tidak menampilkan ibadahnya kepada manusia. Uwais adalah contoh jelas dari nilai ini.
Uwais dan Perjalanan Hajinya
Kisah perjalanan haji Uwais sering diceritakan dalam bentuk kisah-kisah dramatik seperti membawa ibunya di punggung dari Yaman hingga Mekah atau berjalan kaki ribuan kilometer tanpa bekal. Namun kisah tersebut tidak memiliki dasar riwayat yang kuat.
Yang benar berdasarkan catatan sejarah yang terpercaya dari para ulama adalah bahwa Uwais memang pernah menunaikan ibadah haji. Namun tidak dijelaskan secara detail bagaimana perjalanan tersebut berlangsung. Namun jika melihat sifat kehidupannya, dapat dipahami bahwa ia menjalani ibadah ini dengan penuh ketulusan, kesederhanaan, dan tanpa mencari perhatian siapa pun.
Bagi Uwais, haji bukan perjalanan untuk dilihat orang, melainkan perjalanan menuju Allah. Yang tampak dari hidupnya adalah ibadah yang tersembunyi, dilakukan dengan hati yang bersih dan niat yang lurus.
Ketulusan Uwais Selama Haji
Walaupun tidak ada riwayat rinci yang menggambarkan bagaimana ia berhaji, para ulama sepakat bahwa ketulusan dan sifat zuhudnya sangat menonjol dalam seluruh ibadahnya, termasuk haji. Ketika berada di tanah suci, ia tidak mencari tempat khusus, tidak mencari penghormatan dari jamaah lain, dan tidak menonjolkan amalnya.
Gambaran paling logis dari pribadi seperti Uwais adalah:
- Ia berhaji dengan biaya yang halal dan sederhana, tanpa meminta-minta.
- Ia tidak memohon agar orang memujinya, bahkan ia menjauh dari ketenaran.
- Ia mengisi hari-harinya di tanah suci dengan doa, istighfar, dan ibadah dalam diam.
- Ia memohon agar Allah tidak menampakkan kemuliaannya kepada manusia, karena ia takut ujub dan riya.
Inilah kerendahan hati yang membuatnya diangkat oleh Allah bukan perjalanannya, bukan kisah dramatisnya, tetapi hati yang lurus dalam ibadah.
Uwais Setelah Menunaikan Haji
Setelah menunaikan haji, Uwais tetap hidup seperti biasa: sederhana, tidak menetap sebagai ulama terkenal, dan tidak meninggikan dirinya. Ia kembali pada kehidupan yang penuh kerja keras. Dalam banyak riwayat ia digambarkan sebagai pekerja kasar, misalnya memelihara unta atau bekerja sebagai buruh. Ia tidak memanfaatkan namanya untuk kedudukan.
Yang paling menarik: ketika ketenarannya mulai dikenal karena kabar dari Umar, ia malah pergi ke Kufah dan memilih hidup lebih tersembunyi. Ia menghindar dari keramaian agar tidak terjerumus ke dalam rasa bangga diri.
Uwais al-Qarni adalah simbol ketulusan dalam ibadah dan keberanian dalam memilih yang benar. Hidupnya menyampaikan pesan abadi bahwa kedudukan tertinggi di sisi Allah tidak diberikan kepada mereka yang tampak mulia di dunia, tetapi kepada mereka yang tulus, ikhlas, dan berbakti kepada orang tua.
Perjalanannya menuju haji bukan sekadar perpindahan fisik dari Yaman ke Mekah, tetapi perjalanan spiritual menuju kedekatan dengan Allah. Ia mengajarkan bahwa ibadah yang paling tinggi nilainya adalah ibadah yang dilakukan dalam diam, tanpa mengharapkan pujian siapa pun.
Kisah hidupnya menjadi cermin bagi siapa saja yang ingin memahami makna ibadah, keikhlasan, dan ketulusan. Semoga kita dapat meneladani keteguhan hatinya dan mengikuti jalan ibadah yang lurus seperti yang ditunjukkan oleh Uwais al-Qarni.
