
Melunasi Kewajiban Suci
Badal Haji (حج بدل), atau praktik peribadatan haji yang dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain, merupakan salah satu solusi syar’i yang disediakan dalam Islam. Ini adalah pintu rahmat bagi seorang Muslim yang telah diwajibkan haji (istitha’ah secara finansial) namun terhalang oleh kondisi yang tidak memungkinkan untuk hadir secara fisik di Tanah Suci. Praktik ini menjadi perwujudan tanggung jawab spiritual, melunasi janji suci kepada Allah ﷻ, dan seringkali merupakan bentuk bakti tertinggi dari keluarga.
Hukum dan Syarat Sah Badal Haji
Badal haji merupakan praktik yang diakui dan sah menurut syariat, terutama di kalangan ulama Mazhab Syafi’i, dengan ketentuan yang sangat ketat mengenai pihak yang membadalkan dan pihak yang dibadalkan.
1. Landasan Hukum: Hadis Shahih
Legalitas badal haji didukung oleh Hadis shahih yang menjadi rujukan utama. Hadis ini menceritakan seorang perempuan dari Khats’am yang meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk menghajikan ayahnya yang sudah renta:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ نَعَمْ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Artinya, “‘Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban haji berlaku atas hamba-hamba Allah. Saya menjumpai bapak saya telah tua dan tidak mampu duduk di atas kendaraan. Apakah saya mengerjakan haji atas namanya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya,’” (Muttafaq alaih).
Hadis ini secara eksplisit membolehkan pembadalan haji bagi orang yang tidak mampu lagi menunaikannya karena kelemahan fisik akibat usia tua.
2. Syarat Wajib Badal Haji
Terdapat dua kelompok syarat utama yang harus dipenuhi:
A. Syarat bagi Orang yang Membadalkan (Relawan)
Relawan yang akan melaksanakan badal haji harus sudah pernah menjalankan ibadah haji untuk dirinya sendiri. Ini adalah syarat mutlak dalam mazhab Syafi’i; tidak sah badal haji yang dilakukan oleh orang yang belum pernah berhaji atas namanya sendiri.
B. Syarat bagi Orang yang Dihajikan (Mu’tabdal ‘anhu)
Orang yang dibadalkan harus dalam kondisi uzur (berhalangan tetap) yang menghalangi mereka untuk pergi ke Tanah Suci. Uzur tersebut meliputi:
- Wafat (Meninggal Dunia): Seseorang yang meninggal setelah memiliki kemampuan (istitha’ah) haji namun belum sempat melaksanakannya. Dalam kondisi ini, badal haji wajib diambil dari harta peninggalannya.
- Sakit Permanen: Penyakit menahun yang tidak ada harapan sembuh.
- Renta/Lansia: Kondisi fisik yang sangat lemah dan tidak mampu duduk di atas kendaraan atau tidak sanggup menjalankan rangkaian ibadah haji.
Seseorang yang hanya terhalang sementara (misalnya karena terganjal biaya, masalah visa, atau sakit ringan yang bisa sembuh) tidak boleh dibadalkan.
Tata Cara: Niat, Pelafalan, dan Implementasi Fiqh
Dalam pembadalan haji, semua ketentuan ibadah haji (rukun dan wajib haji) berlaku sepenuhnya, termasuk anjuran pelafalan niat badal haji.
1. Niat dan Pelafalan yang Sah
Niat harus dilakukan dalam hati, namun pelafalan niat badal haji sangat dianjurkan (mustahab atau sunnah) untuk memantapkan niat. Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin dalam kitabnya Busyral Karim menjelaskan:
وَيُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ بِالنِّيَّةِ الَّتِي يُرِيدُهَا مِمَّا مَرَّ، لِتَأَكُّدِ مَا فِي الْقَلْبِ كَسَائِرِ الْعِبَادَاتِ فَيَقُولُ بِقَلْبِهِ وُجُوبًا وَبِلِسَانِهِ نَدْبًا
Artinya, “(Jamaah haji) dianjurkan untuk melafalkan niat ibadah… untuk memantapkan hatinya, sebagaimana ibadah yang lain. Ia wajib menyatakan niat dalam hatinya, dan sunah melafalkan dengan lisannya,” (Busyral Karim, juz II, hlm. 517).
Lafal Niat Badal Haji
Berikut adalah lafal niat yang dapat dibaca oleh relawan saat memulai ihram:
- Lafal Utama: نَوَيْتُ الحَجَّ عَنْ فُلَانٍ وَأَحْرَمْتُ بِهِ للهِ تَعَالَىTransliterasi: Nawaytul hajja ‘an fulān (sebut nama jamaah haji yang dibadalkan) wa ahramtu bihī lillāi ta‘ālā.
- Lafal Alternatif: نَوَيْتُ الحَجَّ وَأَحْرَمْتُ بِهِ للهِ تَعَالَى عَنْ فُلَانٍTransliterasi: Nawaytul hajja wa ahramtu bihī lillāi ta‘ālā ‘an fulān (sebut nama jamaah haji yang dibadalkan).
Peringatan Penting Fiqh Niat: Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin menekankan bahwa jika relawan meletakkan kata ‘an fulān di akhir (setelah wa ahramtu bihī), ini tetap sah. Namun, ini sah hanya jika relawan merencanakan pelafalannya di akhir.
وَإِلَّا وَقَعَ لِلْحَاجِّ نَفْسِهِ
“Tetapi jika tidak bermaksud melafalkannya (nama yang dibadalkan), maka ibadah haji atau umrah yang dia lakukan jatuh untuk dirinya, (bukan untuk jamaah yang dibadalkannya),” (Busyral Karim, juz II, hlm. 517).
Oleh karena itu, niat di dalam hati harus sudah mantap bahwa haji ini diperuntukkan bagi orang lain.
2. Implementasi Fiqh dalam Badal
Badal haji harus dilaksanakan sesuai ketentuan haji pada umumnya. Jika relawan melakukan pelanggaran (mukhalafat) saat ihram (misalnya mencukur rambut sebelum waktunya), maka hukuman Dam (denda) ditanggung oleh relawan yang melanggar, bukan oleh orang yang dibadalkan. Kecuali jika pelanggaran tersebut disengaja atas perintah atau dari dana orang yang dibadalkan, maka Dam bisa ditanggung oleh dana orang yang dibadalkan.
Implikasi Kontemporer
Badal haji saat ini dilakukan secara luas, baik oleh kerabat sendiri maupun oleh penyedia jasa profesional, terutama dalam kasus:
1. Badal Haji untuk Jemaah Wafat
Ini adalah kasus paling umum dan disepakati keabsahannya. Seringkali, jemaah yang meninggal setelah melunasi biaya haji, dihajikan oleh anaknya atau relawan yang ditunjuk, menggunakan sisa harta peninggalannya. Hal ini dianggap sebagai utang yang harus dibayarkan sebelum warisan dibagikan.
2. Hikmah Ketaatan dan Pengorbanan
Mewujudkan nilai bakti. Dengan melakukan badal haji untuk orang tua yang telah renta atau sakit parah, seorang anak telah meneladani permintaan perempuan Khats’am kepada Nabi ﷺ. Ini merupakan tanggung jawab dan bentuk ketaatan yang mendalam, sekaligus memastikan bahwa Rukun Islam orang tua tetap tertunaikan.
3. Badal Haji Umrah
Ketentuan badal juga berlaku untuk Umrah (Badal Umrah), dengan syarat-syarat yang kurang lebih sama: orang yang dibadalkan uzur tetap atau meninggal, dan relawan sudah pernah berumrah.
Perwujudan Bakti dan Pelunasan Janji
Badal haji adalah salah satu rahmat dan kemudahan dalam syariat Islam, memungkinkan kewajiban suci tetap terlaksana bagi mereka yang tidak berdaya. Dengan terpenuhinya dua syarat utama relawan sudah berhaji dan orang yang dibadalkan uzur tetap atau meninggal serta menjaga keabsahan niat di Miqat, ibadah ini menjadi perwujudan tanggung jawab spiritual. Ini bukan sekadar ritual pengganti, melainkan pelunasan janji agung kepada Allah ﷻ, yang ditandai dengan cinta dan ketaatan.
