
Kemenangan Nyata yang Abadi
Fathu Makkah (Penaklukan Mekah) adalah salah satu titik balik paling monumental dalam sejarah Islam. Peristiwa yang terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-8 Hijriah (sekitar Januari 630 Masehi) ini bukan sekadar kemenangan militer, melainkan kemenangan ideologi, moral, dan kemanusiaan. Allah SWT mengabadikannya dalam Al-Qur’an Surah Al-Fath, ayat pertama: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.”
Penaklukan ini menjadi yang terbaik karena dicapai dengan strategi militer yang brilian, namun disempurnakan dengan strategi kemanusiaan yang melarang pertumpahan darah, mengedepankan pengampunan, dan menjunjung tinggi perdamaian. Artikel ini akan mengupas tuntas latar belakang, kronologi strategis, hingga hikmah abadi dari Fathu Makkah.
Pengkhianatan Perjanjian Hudaibiyah
Untuk memahami pentingnya Sejarah Fathu Makkah, kita harus melihat kembali Perjanjian Hudaibiyah yang disepakati antara kaum Muslimin (diwakili Nabi Muhammad SAW) dan kaum Quraisy Mekah pada tahun 6 H. Perjanjian ini menetapkan gencatan senjata selama 10 tahun dan kebebasan bagi kabilah-kabilah Arab untuk bersekutu dengan salah satu pihak.
Pelanggaran yang Memicu Gerakan
Pemicu langsung Fathu Makkah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh kaum Quraisy. Bani Bakr, sekutu Quraisy, menyerang secara membabi buta terhadap Bani Khuza’ah, yang merupakan sekutu kaum Muslimin. Kaum Quraisy bahkan membantu Bani Bakr dengan memberikan senjata dan personel secara diam-diam.
Pelanggaran butir perjanjian ini segera dilaporkan oleh delegasi Bani Khuza’ah kepada Rasulullah SAW di Madinah, menuntut keadilan dan perlindungan. Nabi Muhammad SAW kemudian mengajukan tiga opsi kepada Quraisy sebagai ganti rugi:
- Membayar ganti rugi atas korban yang gugur dari Bani Khuza’ah.
- Menghentikan persekutuan dengan Bani Bakr.
- Menyatakan pembatalan Perjanjian Hudaibiyah.
Kaum Quraisy, yang merasa kuat dan angkuh, memilih opsi ketiga: membatalkan Perjanjian Hudaibiyah. Pilihan ini secara sah memberikan dasar hukum bagi Rasulullah SAW untuk mengerahkan pasukan menuju Mekah, kota suci yang telah mengusir beliau.
Strategi Penaklukan Terbaik: Rahasia, Kekuatan, dan Kedamaian
Fathu Makkah adalah studi kasus sempurna tentang bagaimana kecerdasan taktis dipadukan dengan kepemimpinan moral. Rasulullah SAW menggerakkan pasukan bukan untuk balas dendam, tetapi untuk membebaskan Mekah dan mengembalikan Tauhid ke Ka’bah.
A. Prinsip Kerahasiaan Absolut
Strategi pertama adalah kerahasiaan mutlak. Nabi Muhammad SAW merahasiakan tujuan perjalanan kepada semua orang, termasuk kepada para sahabat terdekat seperti Abu Bakar dan Aisyah. Ini bertujuan untuk mencegah informasi bocor ke Quraisy, sehingga mereka tidak sempat menyiapkan perlawanan.
Kerahasiaan ini hampir terancam oleh seorang sahabat (Hathib bin Abi Balta’ah) yang mencoba mengirim surat peringatan ke Mekah, namun berkat wahyu Allah, surat tersebut berhasil dicegat, dan rencana rahasia tetap terjaga.
B. Demonstrasi Kekuatan Shock and Awe
Rasulullah SAW memimpin 10.000 pasukan Muslim, jumlah terbesar yang pernah dikumpulkan. Sebelum memasuki Mekah, beliau memerintahkan setiap pasukan menyalakan obor di tempat perkemahan mereka di Marru Al-Zahran pada malam hari.
Pemandangan 10.000 obor yang menyala di kegelapan sangat mengejutkan mata-mata Quraisy, termasuk Abu Sufyan (pemimpin Quraisy saat itu) yang ditangkap oleh Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi). Demonstrasi kekuatan ini menimbulkan rasa gentar yang luar biasa (efek shock and awe), menghancurkan mental perlawanan Quraisy bahkan sebelum pertempuran dimulai.
C. Pemberian Jaminan Keamanan (Aman)
Kunci sukses penaklukan tanpa darah adalah penetapan jaminan keamanan yang bijaksana. Setelah Abu Sufyan dibawa menghadap Rasulullah SAW dan akhirnya memeluk Islam, beliau diizinkan kembali ke Mekah untuk mengumumkan pesan penting:
“Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Siapa yang menutup pintu rumahnya (tidak melawan), maka ia aman. Siapa yang masuk Masjidil Haram, maka ia aman.”
Pengumuman ini efektif memecah belah kekuatan Quraisy. Masyarakat Mekah segera mencari perlindungan, membuat perlawanan terpusat menjadi mustahil dan mencegah pertumpahan darah secara massal.
D. Penyerbuan dari Empat Penjuru (Taktik Militer)
Pada hari Fathu Makkah (20 Ramadan 8 H), pasukan dibagi menjadi empat kelompok besar:
- Khalid bin Walid memimpin pasukan dari arah bawah Mekah (Selatan).
- Az-Zubair bin Al-Awwam memimpin dari arah atas Mekah (Utara).
- Sa’d bin Ubadah (kemudian diganti oleh Qais bin Sa’ad) memimpin dari arah Barat.
- Rasulullah SAW sendiri memimpin pasukan utama dari arah Adz-Zahir.
Pembagian menjadi empat penjuru ini bertujuan untuk melumpuhkan setiap potensi perlawanan dari arah manapun, memastikan penaklukan kota terjadi secara menyeluruh dan cepat, dengan instruksi keras untuk tidak menumpahkan darah kecuali jika diserang. Satu-satunya perlawanan kecil terjadi di sayap Khalid bin Walid, namun segera dapat diatasi dengan cepat.
Kronologi Kemenangan dan Penyucian Ka’bah
Pada hari itu, Rasulullah SAW memasuki Mekah dalam keadaan tawadhu (rendah hati) di atas untanya, bukan dengan kesombongan seorang penakluk. Beliau langsung menuju Ka’bah.
Penghancuran Berhala
Tindakan pertama Rasulullah SAW adalah memurnikan Ka’bah. Beliau menghancurkan 360 berhala yang mengelilingi Ka’bah. Sambil menunjuk berhala-berhala itu dengan busurnya, beliau membacakan firman Allah:
“وَقُلْ جَآءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ؕ اِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا” (Al-Isra: 81) “Dan katakanlah Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
Setelah Ka’bah dibersihkan, Rasulullah SAW memerintahkan Bilal bin Rabbah untuk naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan azan, menandai kembalinya Mekah sebagai pusat Tauhid yang murni.
Proklamasi Pemaafan
Momen yang paling bersejarah adalah proklamasi pengampunan. Kepada kaum Quraisy yang telah menyiksa dan mengusir beliau selama bertahun-tahun, Rasulullah SAW berkata:
“Pergilah kalian! Hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian, dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.”
Sikap rekonsiliasi total ini membuat penduduk Mekah terperangah. Mereka yang semula siap menghadapi pembalasan, justru mendapatkan pemaafan. Sikap ini memicu gelombang besar penduduk Mekah untuk memeluk Islam secara sukarela, menggenapi makna Fathu Makkah sebagai kemenangan spiritual, bukan sekadar wilayah.
Fathu Makkah, Sejarah Penaklukan Terbaik membuktikan bahwa kemenangan sejati dalam Islam diraih melalui integrasi antara strategi militer yang cerdas dan moralitas yang luhur. Rasulullah SAW berhasil menguasai kota suci tanpa darah, membersihkannya dari syirik, dan menaklukkan hati musuh dengan pengampunan, menjadikannya warisan strategi kepemimpinan yang abadi bagi umat manusia.
