
Memahami Pilar Fiqih Haji
Perbandingan fiqih 4 madzhab, Ibadah Haji dan Umrah adalah rukun Islam kelima yang sarat akan ketentuan fiqih. Dua aspek penting yang sering memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah masalah Miqat (batas wajib memulai Ihram) dan Dam (denda atau tebusan atas pelanggaran).
Artikel ini akan menguraikan perbandingan pandangan 4 Mazhab Fiqih Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali terhadap dua hukum krusial ini, memberikan panduan hukum yang terperinci bagi jamaah.
1. Hukum Miqat Makani (Batas Tempat Ihram)
Miqat Makani adalah batas-batas geografis yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai titik wajib bagi jamaah di luar Mekah untuk memulai niat dan mengenakan pakaian Ihram. Melanggar batas ini tanpa Ihram dianggap meninggalkan salah satu wajib haji atau umrah.
Pandangan Empat Mazhab tentang Miqat:
- Mazhab Hanafi:
- Wajib hukumnya untuk berniat Ihram tepat saat melewati salah satu miqat yang telah ditentukan (seperti Dzul Hulaifah, Juhfah, atau Yalamlam).
- Konsekuensinya: Jika melampaui miqat tanpa Ihram, jamaah wajib membayar Dam (menyembelih seekor kambing atau sepertujuh unta/sapi) sebagai tebusan.
- Mazhab Maliki:
- Sangat bersikeras bahwa niat Ihram harus dilakukan sebelum atau tepat saat melintasi miqat.
- Konsekuensinya: Jamaah wajib membayar Dam jika melanggar. Namun, Mazhab Maliki memberikan kelonggaran: jika jamaah kembali ke miqat yang dilewati dan berniat Ihram di sana, kewajiban Dam tersebut gugur.
- Mazhab Syafi’i:
- Menegaskan kewajiban Ihram di miqat yang telah ditetapkan. Bagi penduduk Mekah, miqat mereka berbeda (rumah mereka untuk haji, dan Al-Hill untuk umrah).
- Konsekuensinya: Jika melanggar, jamaah wajib membayar Dam. Mazhab Syafi’i tidak mensyaratkan (atau tidak mewajibkan) kembali ke miqat untuk menggugurkan Dam.
- Mazhab Hanbali:
- Memiliki pandangan yang mirip dengan Maliki dan Syafi’i, menegaskan Miqat sebagai batas akhir memulai Ihram.
- Konsekuensinya: Jamaah wajib membayar Dam jika melanggar. Seperti Maliki, Mazhab Hanbali juga berpendapat bahwa jika jamaah kembali ke miqat (atau batas yang setara dengannya) dan berniat Ihram, maka kewajiban Dam dapat gugur.
Semua mazhab sepakat bahwa melanggar Miqat tanpa Ihram mewajibkan Dam. Perbedaan utama adalah tentang gugurnya Dam. Mazhab Maliki dan Hanbali membolehkan gugurnya Dam jika jamaah kembali, sementara Hanafi dan Syafi’i cenderung mewajibkan Dam tanpa syarat kembali.
2. Hukum Dam (Denda/Tebusan)
Dam adalah denda berupa penyembelihan hewan yang diwajibkan sebagai sanksi atas pelanggaran larangan Ihram atau karena meninggalkan salah satu wajib haji/umrah. Fiqih Dam memiliki skema yang berbeda-beda.
A. Dam Karena Meninggalkan Wajib Haji/Umrah (Contoh: Tidak Mabit di Muzdalifah)
Ini adalah Dam yang paling umum dan dikenal memiliki opsi pengganti jika jamaah tidak mampu menyembelih hewan.
- Mazhab Hanafi:
- Menerapkan Dam Tartib (Berurutan). Wajib utama adalah menyembelih kambing/domba.
- Alternatif: Jika tidak mampu, wajib berpuasa 10 hari (3 hari di Mekah dan 7 hari setelah kembali ke negara asal).
- Mazhab Maliki:
- Menerapkan Dam Takhyir wa Ta’dil (Pilihan dan Setara Nilai). Jamaah diberi pilihan langsung:
- Menyembelih seekor kambing.
- Memberi makan enam orang miskin (dengan takaran yang setara dengan harga kambing).
- Berpuasa tiga hari.
- Menerapkan Dam Takhyir wa Ta’dil (Pilihan dan Setara Nilai). Jamaah diberi pilihan langsung:
- Mazhab Syafi’i:
- Menerapkan Dam Tartib wa Ta’dil (Berurutan dan Setara Nilai). Urutan wajibnya ketat: menyembelih kambing/domba.
- Alternatif: Jika tidak mampu, puasa 10 hari (3 di Mekah, 7 di negeri asal).
- Mazhab Hanbali:
- Sama dengan Syafi’i, menerapkan Tartib wa Ta’dil. Wajib utama adalah penyembelihan.
- Alternatif: Puasa 10 hari sebagai pengganti jika tidak mampu menyembelih.
B. Dam Karena Jima’ (Hubungan Intim) Sebelum Tahallul Awal
Pelanggaran ini adalah yang paling berat karena dapat membatalkan haji.
- Semua Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali):
- Sepakat bahwa Jima’ sebelum Tahallul Awal (melepas pakaian Ihram untuk pertama kali) menyebabkan haji Batal.
- Konsekuensi Fiqihnya sangat berat: Wajib membayar Dam besar (unta atau sapi) DAN wajib mengulang haji (Qadha) pada tahun berikutnya.
- Perbedaan kecil: Maliki mencatat bahwa jika Jima’ terjadi setelah Tahallul Awal, haji tetap sah, namun wajib membayar Dam kecil (kambing).
Dalam kasus pelanggaran terberat ini, pandangan fiqih empat mazhab hampir seragam, menunjukkan betapa krusialnya menjaga kesucian ibadah haji dari hubungan intim.
Fleksibilitas dan Kepastian Hukum
Perbandingan pandangan di antara 4 Mazhab Fiqih, terutama mengenai skema pembayaran Dam dan syarat Miqat, menunjukkan kekayaan intelektual dalam Islam. Perbedaan ini memberikan ruang bagi umat Islam dari berbagai latar belakang untuk beribadah dengan keyakinan hukum (berdasarkan mazhab yang diikuti) yang kuat.
Pemahaman atas fiqih komprehensif ini memastikan jamaah dapat menjalankan Haji dan Umrah secara mabrur, dengan kesiapan penuh menghadapi segala konsekuensi hukum, termasuk kewajiban Dam yang mungkin timbul
