Bukan Kalah! Sejarah dan Hikmah Perjanjian Hudaibiyah

Perjanjian hudaibiyah

Pada tahun keenam Hijriah, umat Islam mengalami salah satu ujian keimanan dan strategi politik terbesar mereka Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini, yang secara zahir (luar) tampak merugikan kaum Muslimin, diyakini oleh Rasulullah SAW sebagai pembukaan gerbang kemenangan yang hakiki, yang dibuktikan dengan janji Allah dalam Al-Qur’an.

1. Latar Belakang: Mimpi dan Keyakinan

Seluruh perjalanan ke Makkah ini berawal dari sebuah mimpi. Rasulullah SAW bermimpi bahwa beliau dan para sahabat memasuki Baitullah, melaksanakan tawaf, dan mencukur rambut dengan aman. Beliau menyampaikan mimpi ini kepada para sahabat, yang kemudian disambut dengan suka cita dan keyakinan akan kebenaran janji Allah.

Keyakinan ini kemudian dikukuhkan dengan firman Allah SWT:

لَّقَدْ‭ ‬صَدَقَ‭ ‬ٱللَّهُ‭ ‬رَسُولَهُ‭ ‬ٱلرُّءْيَا‭ ‬بِٱلْحَقِّ‭…‬ فَجَعَلَ‭ ‬مِن‭ ‬دُونِ‭ ‬ذَٰلِكَ‭ ‬فَتْحًا‭ ‬قَرِيبًا

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, […] Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.”

(QS. Al-Fath: 27)

Maka, di awal bulan Dzul Qa’dah tahun 6 H, Rasulullah SAW berangkat dari Madinah hanya dengan niat untuk berumrah. Beliau membawa unta-unta hadyu (hewan kurban) dan mengenakan pakaian ihram untuk menunjukkan kepada Quraisy bahwa mereka datang sebagai peziarah, bukan penyerang.

2. Penghadangan dan Pilihan Strategis

Rasulullah SAW telah mengambil langkah pencegahan dengan mengutus mata-mata (Bisr bin Sufyan Al-Ka’bi) untuk memantau pergerakan Quraisy. Benar saja, Quraisy telah bersumpah untuk menghalangi kaum Muslimin masuk ke Makkah, bahkan mengerahkan pasukan kavaleri di bawah pimpinan Khalid bin Walid di Qura’ Ghamim.

Ketika menghadapi situasi ini, Rasulullah SAW meminta musyawarah. Meskipun Abu Bakar RA menyatakan kesediaan untuk membunuh siapa pun yang menghalangi mereka dari Baitullah, fokus utama Nabi adalah perdamaian dan pengagungan bulan suci (Dzul Qa’dah).

Untuk menghindari pertempuran langsung dan menegaskan niat damai, Rasulullah memilih jalur yang tidak terduga dan sulit, jauh dari jalur yang dijaga pasukan Quraisy.

  • Keajaiban Qashwa: Ketika unta Nabi, Qashwa, berhenti, Nabi bersabda, “Unta ini tidak mogok, melainkan ia ditahan oleh Dzat yang pernah menahan pasukan bergajah.” Ini adalah isyarat bahwa Allah menginginkan perdamaian.

3. Diplomat Quraisy dan Bai’atur Ridhwan

Setibanya di Hudaibiyah, daerah yang memiliki sumber air minim (yang kemudian memancar deras berkat mukjizat anak panah Nabi), serangkaian utusan Quraisy datang untuk berunding:

  1. Budail bin Waraqah dan Khuza’ah: Mereka melaporkan bahwa Nabi datang hanya untuk berziarah.
  2. Hulais bin Al-Qamah: Ia kembali tanpa bertemu Nabi karena sangat terkesan dan menghormati hewan-hewan kurban yang dipersiapkan, menegaskan niat damai Muslimin.
  3. Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi: Urwah mencoba menekan Nabi, bahkan meramalkan bahwa sahabat akan meninggalkan beliau. Namun, sekembalinya ke Quraisy, Urwah bersaksi bahwa ia belum pernah melihat seorang raja pun dihormati sehormat Muhammad oleh para sahabatnya—sebuah kesaksian yang menggoyahkan mental Quraisy.

Bai’atur Ridhwan (Sumpah Setia)

Setelah itu, Rasulullah mengutus Utsman bin Affan RA sebagai diplomat. Namun, tersebar kabar burung bahwa Utsman telah dibunuh. Kabar ini memicu reaksi spontan yang luar biasa. Di bawah pohon, para sahabat segera berbaiat (bersumpah setia) kepada Rasulullah SAW untuk berperang sampai mati. Peristiwa bersejarah ini dikenal sebagai Bai’atur Ridhwan.

Utsman RA kemudian muncul kembali, membantah bahwa ia telah tawaf sendirian. Ia menegaskan, “Aku tidak akan tawaf hingga Rasulullah tawaf terlebih dahulu,” yang memperkuat kesetiaan dan keyakinan beliau.

4. Isi Perjanjian dan Keresahan Umar RA

Quraisy kemudian mengutus Suhail bin Amr untuk mencapai kesepakatan damai. Rasulullah melihat kedatangan Suhail sebagai isyarat perdamaian.

Beberapa poin perjanjian hudaibiyah yang disepakati oleh Suhail bin Amr dan Rasulullah SAW terasa sangat berat bagi kaum Muslimin:

  1. Pengembalian Tahun Ini: Kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dan menunda Umrah hingga tahun depan.
  2. Penghapusan Gelar: Suhail meminta Rasulullah menghapus frasa “Muhammad Rasulullah” dari naskah perjanjian, hanya ditulis sebagai “Muhammad bin Abdullah.”
  3. Klausul Pengungsi: Jika ada orang Quraisy yang melarikan diri ke Madinah tanpa izin walinya, mereka harus dikembalikan. Namun, jika ada Muslim yang melarikan diri ke Makkah, Quraisy tidak wajib mengembalikannya.

Poin terakhir ini memicu protes keras dari Umar bin Khaththab RA. Ia mendatangi Abu Bakar RA, dan kemudian Rasulullah SAW, dengan pertanyaan tajam: “Ya Rasulullah, bukankah engkau utusan Allah? Lalu mengapa kita merendahkan agama kita?”

Rasulullah menjawab dengan penuh ketenangan: “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya! Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan aku.”

5. Hikmah Besar: Kemenangan yang Sesungguhnya

Meskipun Perjanjian Hudaibiyah secara formal dianggap berat, waktu membuktikan bahwa itu adalah strategi politik yang brilian dan pintu gerbang menuju Fathu Makkah. Hikmahnya adalah:

  1. Pengakuan Politik: Perjanjian ini secara de facto memaksa Quraisy mengakui keberadaan negara Islam di Madinah, menempatkan kaum Muslimin sebagai kekuatan yang setara, bukan lagi sekadar kaum pelarian.
  2. Masa Gencatan Senjata (Dakwah): Jeda 10 tahun peperangan memberikan ruang aman bagi Islam untuk menyebar. Kaum Muslimin dapat berinteraksi dengan suku-suku Arab tanpa dibayangi ancaman Quraisy, sehingga banyak suku besar yang menyatakan masuk Islam.
  3. Ujian Keimanan dan Kepemimpinan: Keresahan Umar RA dan ketenangan Rasulullah SAW mengajarkan tentang pentingnya ketaatan mutlak kepada petunjuk ilahi, bahkan ketika logika manusia kesulitan memahaminya.
  4. Terpenuhinya Al-Fath: Klausul “kemenangan yang dekat” (QS. Al-Fath: 27) terbukti benar. Gencatan senjata ini memberikan kedamaian yang menjadi prasyarat bagi masuknya Makkah (Fathu Makkah) dua tahun kemudian, yang terjadi dengan damai dan tanpa pertumpahan darah, menggenapi mimpi Nabi.

Perjanjian Hudaibiyah, yang “pahit di awal,” sejatinya adalah langkah mundur strategis yang memungkinkan dua langkah maju untuk kemenangan total. Itu adalah bukti bahwa kemenangan sejati tidak selalu diukur dari keuntungan sesaat, tetapi dari tercapainya tujuan jangka panjang yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *