
Kisah nabi ibrahim. Setiap musim haji, jutaan jamaah dari seluruh dunia berkumpul di Mina, sebuah lembah yang menjadi saksi sejarah agung antara ketaatan Nabi Ibrahim AS dan godaan Iblis yang abadi. Di sinilah, umat Islam melakukan melontar jamarat melempar batu ke tiga tiang yang dikenal sebagai Jamrah Ūlā (Sughra), Jamrah Wustha, dan Jamrah Aqabah (Kubra).
Ritual ini bukan sekadar tindakan fisik, tetapi simbol perjuangan spiritual: perlawanan terhadap godaan setan, peneguhan iman, dan pembuktian cinta sejati kepada Allah SWT.
Godaan Iblis terhadap Keluarga Nabi Ibrahim
Kisah ini bermula ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya, Ismail AS, sebagai ujian keimanan. Perintah itu bukanlah perkara ringan. Namun, Ibrahim menerimanya dengan penuh ketundukan karena keyakinannya bahwa perintah Allah pasti mengandung hikmah dan kebaikan.
Ketika mereka berdua berjalan menuju tempat penyembelihan, Iblis datang dalam wujud manusia, mencoba menggoda Nabi Ibrahim agar membatalkan niatnya. Ia berkata, seolah penuh simpati, bahwa perintah itu kejam dan tak masuk akal. Namun Ibrahim menjawab dengan keyakinan teguh, menolak bujukan itu, dan mengambil tujuh batu kerikil untuk melempar Iblis seraya mengucap:
“Bismillahi Allahu Akbar.”
(Dengan nama Allah, Allah Maha Besar.)
Tempat inilah yang kemudian dikenal sebagai Jamrah Ūlā (Sughra) simbol perlawanan pertama terhadap setan.
Iblis Menggoda Hajar dan Ismail
Tak berhenti pada Ibrahim, Iblis lalu mendatangi Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim. Dengan licik, Iblis membujuknya agar mencegah suaminya menyembelih Ismail. “Engkau seorang ibu, apakah tega melihat anakmu disembelih?” rayunya. Namun Hajar, yang juga penuh iman, menjawab dengan keyakinan bahwa perintah Allah harus lebih diutamakan daripada rasa kasih manusiawi.
Ia pun mengambil tujuh batu kerikil dan melempari Iblis hingga lari. Lokasi inilah yang kemudian dikenal sebagai Jamrah Wustha (Tengah).
Iblis masih belum menyerah. Ia kemudian mencoba menggoda Ismail AS, berharap imannya yang masih muda akan goyah. Namun Ismail menjawab dengan ketegasan:
“Wahai musuh Allah, jangan kau goda aku! Aku tunduk kepada perintah Tuhanku sebagaimana ayahku tunduk.”
Ismail pun ikut melempari Iblis bersama ayah dan ibunya. Tempat inilah yang kini disebut Jamrah Aqabah (Kubra).
Atas keikhlasan dan keteguhan mereka, Allah memuji keluarga Ibrahim dan menggantikan Ismail dengan seekor hewan sembelihan sebagai bukti diterimanya pengorbanan mereka.
Dasar Qur’ani tentang Godaan Iblis
Kisah ini mengandung pesan mendalam tentang perlawanan manusia terhadap Iblis, sebagaimana digambarkan dalam firman Allah SWT dalam Surah Al-Hijr ayat 39–40:
“Ia (Iblis) berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan aku sesat, maka aku akan menjadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.’”
(QS. Al-Hijr [15]: 39–40)
Ayat ini menegaskan bahwa godaan setan tidak akan pernah berhenti hingga hari kiamat, dan hanya hamba yang ikhlas yang dapat mengalahkannya.
Karena itu, melontar jamarat bukan hanya ritual tahunan, tetapi simbol kesadaran spiritual untuk menolak bisikan setan dalam kehidupan sehari-hari.
Hadis dan Makna Spiritual Melontar Jamarat
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya setan mengalir pada manusia sebagaimana darah mengalir dalam dirinya.”
(HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Hadis ini menggambarkan bahwa godaan setan begitu halus dan konstan, sehingga manusia harus senantiasa waspada dan melawannya.
Melontar jamarat mengingatkan jamaah haji bahwa setan selalu berusaha menyesatkan manusia dari ketaatan kepada Allah. Maka, setiap batu yang dilemparkan adalah simbol tekad untuk menolak dosa dan hawa nafsu.
Secara syariat, lemparan jamrah harus dilakukan dengan tujuh batu kecil, bukan dengan benda lain. Setiap lemparan melambangkan ketekunan dan kesinambungan perjuangan melawan kejahatan, bukan hanya sekali, tetapi berulang dan berkesinambungan hingga kejahatan benar-benar tersingkir dari diri.
Makna Sejati di Balik Jamarat
Melontar jamarat adalah pelajaran spiritual tentang jihad melawan diri sendiri. Ia bukan sekadar simbol sejarah, tetapi ritual pembentukan karakter dan keimanan.
Beberapa makna sejati di balik jamarat antara lain:
- Meneguhkan keikhlasan Seperti Nabi Ibrahim, setiap Muslim diajak untuk menundukkan ego dan ambisi pribadi demi ketaatan kepada Allah.
- Melatih kesabaran dan keteguhan hati Melontar tujuh batu menggambarkan kesungguhan dan kontinuitas dalam melawan keburukan yang berulang-ulang datang.
- Menolak bisikan setan yang samar Godaan tidak selalu jelas bentuknya terkadang berupa kemalasan, rasa putus asa, atau kesombongan diri.
- Membersihkan hati dari sifat syaitaniyah Batu-batu yang dilempar adalah simbol membuang sifat sombong, dengki, iri hati, dan cinta dunia dari dalam diri manusia.
Ibadah melontar jamarat di Mina adalah simbol perlawanan yang tak lekang oleh waktu. Ia mengingatkan bahwa setan tidak akan pernah berhenti menggoda manusia, dan hanya dengan keikhlasan, keteguhan, dan ketaatan kepada Allah, seseorang dapat menundukkannya.
Sebagaimana Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar, dan Ismail AS menunjukkan iman yang kokoh dalam menghadapi ujian besar, demikian pula umat Islam diajak untuk menjadikan jamarat sebagai refleksi diri bahwa setiap batu yang dilempar bukan sekadar mengenai tiang di Mina, tetapi juga menghantam godaan yang bersembunyi di dalam hati.
