
Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) terus berupaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, terutama dalam menghadapi tantangan jumlah jamaah yang semakin besar setiap tahunnya. Sebagai bentuk inovasi layanan, Kemenag memperkenalkan dua skema baru yaitu murur dan tanazul. Kedua layanan ini bertujuan untuk mengurai kepadatan di titik-titik kritis seperti Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), serta memberikan kemudahan bagi jamaah lanjut usia, penyandang disabilitas, dan jamaah berisiko tinggi.
Inovasi ini mulai diterapkan secara bertahap sejak musim haji 1446 H/2025 M dan akan terus disempurnakan untuk musim haji mendatang.
Murur: Mobilisasi Cepat dan Aman
Murur berasal dari bahasa Arab yang berarti “melintas.” Dalam konteks haji, murur adalah mekanisme di mana jamaah tertentu seperti lansia dan jamaah dengan risiko kesehatan tinggi tidak perlu turun dari kendaraan saat melintasi Muzdalifah, melainkan langsung menuju Mina. Hal ini dilakukan agar jamaah tidak kelelahan akibat berdesakan atau menunggu lama di lokasi mabit (bermalam) yang biasanya padat.
Kemenag menyebut skema murur telah terbukti efektif dalam mengurangi waktu mobilisasi dari Arafah ke Mina. Dengan sistem ini, perjalanan jamaah lebih teratur dan risiko kesehatan akibat kelelahan atau suhu panas ekstrem dapat diminimalkan. Murur menjadi solusi praktis sekaligus bentuk perhatian terhadap jamaah yang membutuhkan perlindungan lebih selama proses ibadah.
Tanazul: Alternatif Nyaman Saat Mabit di Mina
Berbeda dengan murur, tanazul diterapkan pada saat jamaah bermalam di Mina. Tanazul merupakan sistem yang memungkinkan sebagian jamaah terutama lansia, disabilitas, dan jamaah prioritas untuk tidak bermalam di tenda Mina, melainkan kembali ke hotel setelah melontar jumrah. Tujuannya adalah agar jamaah dapat beristirahat dengan nyaman tanpa kehilangan keabsahan ibadahnya.
Penerapan tanazul telah disetujui berdasarkan kajian fiqih dan koordinasi dengan otoritas Arab Saudi. Menurut penjelasan resmi Kemenag dan hasil pengawasan DPR RI, jamaah yang mengikuti program ini tetap memenuhi syarat mabit secara syar’i karena telah hadir di Mina pada waktu yang ditentukan sebelum kembali ke penginapan. Dengan demikian, tanazul tidak melanggar ketentuan ibadah, melainkan adaptasi dari praktik fiqih yang memperhatikan keselamatan dan kenyamanan jamaah.
Manfaat dan Tantangan
Penerapan murur dan tanazul membawa manfaat besar bagi jamaah haji Indonesia. Dari sisi kesehatan, jamaah lansia tidak lagi harus menghadapi perjalanan berat yang berpotensi memicu kelelahan ekstrem. Dari sisi manajemen, kepadatan di area Armuzna dapat dikurangi, sehingga mobilisasi menjadi lebih lancar dan tertib. Selain itu, efisiensi waktu dan tenaga juga meningkat, sejalan dengan prinsip pelayanan prima dalam ibadah haji.
Menurut Kemenag dan DPR RI, tantangan layanan khusus masih ada, yaitu: kriteria jemaah, kesiapan armada, dan koordinasi lembaga. Kejelasan mekanisme dan transparansi dalam pelaksanaannya menjadi kunci agar inovasi ini berjalan adil dan tidak menimbulkan kebingungan di lapangan.
Skema murur dan tanazul merupakan bentuk nyata inovasi layanan haji Indonesia yang mengutamakan kemaslahatan jamaah. Kedua inovasi ini menandai perubahan besar dalam haji modern. Keberhasilan murur dan tanazul sangat bergantung pada kerja sama antara pemerintah, petugas, dan jemaah, menuju pelayanan yang aman, efisien, dan sesuai syariat.
