
Ibadah haji bukan hanya perjalanan fisik menuju Tanah Suci, tetapi juga perjalanan spiritual menuju penyucian jiwa. Salah satu ritual paling simbolik dalam rangkaian haji adalah melontar jumrah atau Ramy al-Jamarat, yang dilakukan di Mina. Ritual ini sering dipahami sekadar “melempar batu,” padahal maknanya jauh lebih dalam: ia adalah simbol penolakan terhadap godaan setan dan peneguhan keimanan kepada Allah SWT.
Melontar jumrah merupakan perwujudan dari semangat Nabi Ibrahim AS dalam menolak bisikan setan ketika hendak melaksanakan perintah Allah untuk mengorbankan putranya. Dalam setiap lemparan, seorang muslim menegaskan komitmen spiritual: menolak segala bentuk godaan, hawa nafsu, dan kemaksiatan yang menghalangi ketaatan kepada Sang Pencipta.
Dalil dan Kedudukan Melontar Jumrah dalam Syariat
Ritual melontar jumrah memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an, hadits, ijmak, dan qiyas. Para ulama sepakat (ijmak) bahwa pelaksanaannya merupakan salah satu rukun haji wajib yang tidak boleh ditinggalkan tanpa uzur syar’i.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan berdzikirlah kepada Allah dalam beberapa hari yang berbilang.”
(QS. Al-Baqarah: 203)
Ayat ini dipahami sebagai anjuran berzikir dan mengingat Allah pada hari-hari Tasyriq yaitu saat jamaah haji berada di Mina untuk melontar jumrah. Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
“Sesungguhnya thawaf di Baitullah, sa’i antara Shafa dan Marwah, serta melempar jumrah adalah untuk mengingat Allah.”
(HR. Abu Dawud)
Melalui dalil-dalil ini, para ulama berpendapat bahwa tujuan utama melontar jumrah adalah dzikir dan ketaatan, bukan semata-mata ritual fisik. Dengan qiyas, tindakan nabi Ibrahim AS yang melempar setan menjadi dasar analogi bahwa setiap muslim yang melontar jumrah juga sedang melawan setan dalam dirinya.
Kisah Nabi Ibrahim AS: Asal-Usul Ritual Melontar Jumrah
Sejarah melontar jumrah berakar pada kisah Nabi Ibrahim AS. Ketika beliau diperintahkan Allah untuk menyembelih putranya Ismail, setan datang menggoda di tiga tempat berbeda untuk melemahkan keimanannya. Di setiap titik itu, Nabi Ibrahim melempari setan dengan tujuh batu kecil seraya mengucap Allahu Akbar, hingga godaan itu sirna.
Peristiwa ini kemudian dijadikan simbol dalam ibadah haji, di mana jamaah melempar batu di tiga lokasi: Jumrah Ula, Jumrah Wusta, dan Jumrah Aqabah. Ketiganya menandakan tiga bentuk godaan besar dalam kehidupan manusia: godaan untuk lalai, godaan untuk ragu, dan godaan untuk menolak ketaatan.
Dengan meneladani tindakan Ibrahim, jamaah haji menegaskan tekad untuk memerangi bisikan setan yang menghalangi pengabdian kepada Allah. Hal ini menjadi wujud nyata dari jihad melawan hawa nafsu (jihad an-nafs), yang oleh para ulama dianggap sebagai jihad terbesar.
Makna Spiritual: Melontar Setan dari Dalam Diri
Melontar jumrah memiliki makna spiritual yang sangat mendalam. Ia bukan hanya simbol pengusiran setan, melainkan perlawanan terhadap sifat-sifat buruk dalam diri manusia. Setiap lontaran adalah pernyataan bahwa seorang muslim siap menyingkirkan kesombongan, amarah, iri hati, dan kemalasan yang bersumber dari godaan syaitan.
Ritual ini juga menegaskan konsep tazkiyatun nafs penyucian jiwa agar hati menjadi bersih dan siap menerima hidayah Allah. Dengan demikian, haji bukan hanya ibadah fisik, tetapi juga perjalanan spiritual untuk memperbaharui diri dan membuang sifat-sifat yang menjauhkan dari Allah.
Para ulama menafsirkan bahwa “batu” yang dilempar sebenarnya adalah simbol dari “dosa dan keburukan” yang selama ini menjerat manusia. Dengan melemparkannya, seorang hamba melepaskan diri dari belenggu maksiat menuju ketaatan dan ketenangan batin.
Tata Cara dan Adab Melontar Jumrah
Secara fiqih, pelaksanaan melontar jumrah dilakukan selama empat hari: mulai 10 Dzulhijjah hingga 13 Dzulhijjah. Setiap jamaah melempar tujuh batu kecil di tiap lokasi jumrah sambil bertakbir.
Setelah melontar, disunnahkan untuk berdoa dan berdzikir menghadap kiblat. Batu yang digunakan tidak boleh besar atau berbahaya bagi orang lain, melainkan batu kecil yang diambil dari sekitar Mina.
Adab yang ditekankan para ulama adalah menjaga niat. Jamaah diingatkan agar tidak melempar dengan emosi atau kemarahan, karena tujuan ramy bukan melampiaskan amarah, tetapi menegakkan ketaatan. Rasulullah SAW melempar dengan tenang, tidak tergesa-gesa, dan selalu bertakbir di setiap lontaran.
Makna Setelah Melontar: Pembaruan Iman dan Ketaatan
Setelah ritual ramy selesai, jamaah biasanya melanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban dan tahallul. Namun, makna dari pelemparan jumrah seharusnya tidak berhenti di Mina. Ibadah ini mengandung pesan moral untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari menjaga diri dari godaan, menahan amarah, dan memperbanyak dzikir kepada Allah SWT.
Dalam perspektif qiyas dan ijmak, melontar jumrah adalah bentuk miniatur jihad, yaitu melawan godaan yang bersumber dari dalam diri. Sebagaimana Ibrahim berhasil melawan setan, demikian pula seorang muslim harus berjuang menundukkan hawa nafsunya.
Melalui ritual ini, Allah mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukanlah mengalahkan musuh di luar, tetapi mengalahkan musuh di dalam diri sendiri.
Melontar jumrah bukanlah ritual simbolik tanpa makna, melainkan pernyataan iman yang mendalam. Setiap lontaran batu adalah deklarasi spiritual bahwa seorang hamba memilih ketaatan atas kemaksiatan, memilih dzikir atas kelalaian, dan memilih Allah atas hawa nafsu. Dengan memahami makna sejati dari melontar jumrah, jamaah haji tidak hanya melempar batu di Mina, tetapi juga melempar jauh godaan dan sifat buruk dari dalam diri.
