Kisah Tiga Tiang di Mina: Melontar Jumrah Aqabah, Wustha, dan Sughra

kisah tiga tiang

Kisah tiga tiang di Mina, sekitar lima kilometer dari Makkah, jutaan jemaah haji melaksanakan melontar jumrah ke tiga tiang (Aqabah, Wustha, Sughra). Ibadah ini sarat makna, melambangkan perlawanan Nabi Ibrahim terhadap godaan setan dan penegasan ketaatan kepada Allah SWT.

Asal-usul Tiga Jumrah

Kisah tiga jumrah berawal dari peristiwa ketika Nabi Ibrahim AS menerima perintah dari Allah untuk menyembelih putranya, Ismail AS, sebagai bentuk ujian keimanan. Saat Ibrahim dan Ismail menuju tempat penyembelihan, setan berusaha menggoda mereka di tiga tempat yang berbeda di Mina.

Menurut riwayat Ibnu Abbas (Imam Ahmad), setan muncul dan menggoda Nabi Ibrahim di tiga lokasi: Jumrah Sughra, Wustha, dan Aqabah. Setiap kali setan muncul, Ibrahim melemparnya dengan tujuh batu kecil sambil berkata:

“Bismillahi Allahu Akbar.”

(Dengan nama Allah, Allah Maha Besar).

Peristiwa inilah yang kemudian diabadikan dalam syariat haji, dan hingga kini menjadi salah satu amalan wajib bagi setiap jamaah haji.

Dalil dari Al-Qur’an dan Hadis

Walaupun Al-Qur’an tidak secara eksplisit menyebutkan tentang “melontar jumrah”, dasar perintahnya berasal dari perintah umum untuk mengikuti manasik haji sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW.

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Hajj ayat 32:

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu berasal dari ketakwaan hati.”

(QS. Al-Hajj: 32)

Syiar-syiar Allah termasuk dalam ibadah haji di Mina, seperti melontar jumrah, menyembelih kurban, dan bermalam di Muzdalifah.

Sementara itu, hadis sahih yang menjadi landasan kuat berasal dari riwayat Bukhari dan Muslim ketika Rasulullah SAW bersabda:

“Ambillah dariku tata cara pelaksanaan haji kalian.”

(HR. Muslim)

Hadis ini menjadi dalil ijmak bahwa seluruh tata cara haji termasuk melontar jumrah wajib mengikuti contoh Nabi Muhammad SAW. Dalam riwayat lain dari Jabir bin Abdillah RA, ia menuturkan:

“Rasulullah SAW melontar Jumrah pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) di waktu Dhuha, dan setelah itu beliau kembali ke Mina pada hari-hari Tasyriq untuk melontar ketiga jumrah.”

(HR. Muslim)

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa Rasulullah mencontohkan secara langsung praktik pelontaran jumrah sebagai bagian dari manasik haji yang sah.

Makna dan Hikmah di Balik Melontar Jumrah

Secara lahiriah, ibadah melontar jumrah tampak seperti sekadar melempar batu. Namun secara batiniah, ia merupakan simbol penolakan terhadap godaan setan dan pengukuhan tekad untuk tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah.

Para ulama menjelaskan, ketiga jumrah melambangkan tingkatan godaan: Sughra (ujian awal), Wustha (godaan berat), dan Aqabah (puncak perlawanan dan pengorbanan). Menurut Imam Al-Ghazali, melontar jumrah adalah latihan spiritual untuk mengusir sifat-sifat buruk seperti kesombongan, hawa nafsu, dan keraguan. ia menulis :

“Sesungguhnya engkau tidak melempar setan dengan batu-batu itu, melainkan engkau melempar bisikan setan yang ada dalam hatimu.”

Dari sisi qiyas (analogi hukum), para ulama menyamakan tindakan melontar batu ini dengan tindakan menolak segala bentuk kejahatan dengan usaha nyata, bukan hanya dengan niat. Maka, melempar batu adalah simbol aksi, bukan sekadar simbol batin.

Pandangan Ijmak Ulama

Para ulama dari empat mazhab sepakat (ijmak) bahwa melontar jumrah termasuk dalam wajib haji. Apabila seseorang meninggalkannya tanpa uzur, maka ia wajib membayar dam (denda).

Namun, jika ada alasan yang sah seperti sakit, uzur fisik, atau ancaman keselamatan, maka boleh diwakilkan kepada orang lain hal ini berdasar pada kaidah fikih:

“Al-Masyaqqah tajlibut taisir” Kesulitan itu membawa kemudahan.

Ijmak ini didasarkan pada kesepakatan para sahabat dan tabi’in yang menyaksikan praktik langsung Rasulullah SAW di Mina, sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai kitab fikih seperti Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi dan Al-Mughni karya Ibnu Qudamah.

Refleksi Spiritual

Melontar jumrah mengajarkan bahwa setan tidak selalu hadir dalam wujud yang nyata, melainkan sering muncul dalam bentuk nafsu, keinginan duniawi, keraguan, dan kesombongan diri. Dengan melempar batu ke tiga tiang itu, seorang Muslim seakan berjanji untuk:

  1. Menolak godaan dalam bentuk kecil (Sughra),
  2. Menghadapi ujian yang lebih besar dengan sabar (Wustha), dan
  3. Mengalahkan hawa nafsu serta keputusasaan (Aqabah).

Setiap lontaran batu adalah sumpah keimanan untuk meneguhkan tauhid dan menolak bisikan setan yang ingin memalingkan hati dari Allah.

Ibadah melontar jumrah di Mina bukanlah ritual tanpa makna. Ia adalah jejak sejarah ketaatan Nabi Ibrahim dan keluarganya, sekaligus pengingat abadi bagi setiap Muslim untuk melawan segala bentuk godaan setan dalam kehidupan.

Kisah Tiga tiang di Mina Sughra, Wustha, dan Aqabah bukan hanya batu yang dilempari, melainkan simbol dari tiga tahapan perjuangan manusia dalam menjaga iman.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *